Andre Graff
Andre Graff : "Penggali Sumur" untuk Warga Sumba
Lahir : Alsace, Munster, Perancis, 24 Juli 1957
Pendidikan, antara lain :
- Setingkat SD dan SMP, lulus 1968
- Setingkat SMA, 1974
- Universitas Louis Pasteur, Strasbourg, Perancis, 1978
Kegiatan, antara lain :
- Public Relation and Communication, 1985-2004
- Pilot balon udara, 1980
- Memimpin perusahaan balon udara, 1985-2004
- memimpin Pilot Project Waru Wora ((PPWW) Sumba, 2011
Nama aslinya Andre Graff, tetapi masyarakat Sumba memanggilnya "Andre
Sumur". Warga di tempat tinggalnya, Lamboya, Sumba Barat, Nusa Tenggara
Timur, menyapa dia Amaenudu, orang yang baik hati. Ini karena
perjuangannya mengadakan sumur gali bagi warga Sumba dan Sabu Raijua.
OLEH KORNELIS KEWA AMA
Padahal, latar belakang
Graff adalah pilot balon udara. Selama puluhan tahun ia juga memimpin
perusahaan balon udara di Perancis untuk pariwisata. Dia suka
menerbangkan balon udara melewati Pegunungan Alpen.
"Menjadi pilot balon udara tidak mudah, kita harus mengikuti arah
angin. Terkadang kita sudah sampai di tempat tujuan, tetapi tiba-tiba
dibawa angin kembali ke tempat lain. Di sini diperlukan pengetahuan
aerologi, meteorologi, dan klimatologi," kata Graff di Desa Patijala
Bawa, Kecamatan Lamboya, Sumba Barat, 30 kilometer (km) sebelah utara
Waikabubak, Kamis (15/9).
Tahun 1990 dan 2004, Graff mengunjungi Bali sebagai turis. Dari
Bali dia menyewa perahu layar dan bersama tujuh wisatawan asing dari
sejumlah negara menjelajahi beberapa pulau di Nusa Tenggara Timur (NTT),
seperti Sabu Raijua, Sumba, Solor, Lembata, Alor, dan Kepulauan Riung.
"Teman-teman turis itu latar belakangnya beragam, ada yang dokter
bedah, ahli planologi, dan ahli pertanian," katanya. Sejumlah aktivitas
masyarakat, budaya, dan tradisi lokal pun menjadi obyek foto mereka.
Saat itu Graff berjanji akan mengirimkan foto yang mereka buat
kepada warga setempat. Jumlahnya mencapai 3.547 lembar, seberat 25
kilogram. Agustus 2004, ia memutuskan mengantar sendiri foto tersebut
kepada sejumlah warga di NTT.
Juni 2005, dia singgah di Sabu Raijua dan menetap di kampung adat
Ledetadu. Warga di kampung itu kesulitan air bersih. Setiap hari mereka
harus berjalan 2 kilometer untuk mengambil air sumur di dataran rendah.
"Saya prihatin,.Saya lalu bertemu Pastor Frans Lakner, Sj yang
sudah 40 tahun mengabdi di Sabu. Dia mengajari saya bagaimana mencari
air tanah, menggali sumur, dan membuat gorong-gorong dari beton agar air
tak terkontaminasi lumpur. Gorong-gorong itu bertahan sampai
bertahun-tahun kemudian," katanya.
Gorong-gorong beton
Graff pun membuat satu unit sumur bagi 127 keluarga di Ledetadu.
Merasa puas atas hasilnya, dia lalu menggali sumur dan memasang
gorong-gorong beton lain bagi warga seekitar Ledetadu.
Pada 2005-2007, dia berhasil membuat 25 sumur gali bagi 1.250 keluarga
yang tersebar di tiga desa. Graff juga mengajarkan warga setempat untuk
mencari air, menggali, dan membuat gorong-gorong yang berkualitas.
Pengetahuan itu terus dia tularkan kepada desa-desa di sekitar Ledetadu
dan Namata.
Berkat air sumur, warga bisa menanam sayur, jagung, buah, dan
umbi-umbian di sekitar rumah. Mereka bisa menjual hasil kebunnya ke
pasar untuk membeli beras dan kebutuhan lain.
Akhir 2007, ia memutuskan pindah ke Lamboya, Sumba Barat, setelah warga
Sabu Raijua bisa membuat sumur sendiri. Ia tinggal dengan Rato (Kepala
Suku) Kampung Waru Wora, Desa Patijala Bawa, Lamboya. Di sini ia
membentuk kelompok pemuda beranggotakan sembilan orang untuk membuat
gorong-gorong yang disebut GGWW (Gorong-gorong Waru Wora).
Melihat kualitas dan fungsi gorong-gorong itu, warga kampung dan
desa lain di sekitar Patijala pun memesan gorong-gorong kepada GGWW
dengan harga Rp 300.000 per potong (sekitar 1m x 1m).
Pada 2007-2011, sebanyak 35 sumur berhasil dikerjakan Graff bersama
GGWW. Mereka melakukan pencarian air dengan kemampuan khusus yang
dimiliki para rato dalam menentukan lokasi sumber air tanah.
"Orang kampung tak memakai alas kaki. Telapak kaki mereka langsung
langsung kontak dengan tanah dan mampu merasakan lokasi di mana ada
air," kata Graff.
Tak mandi
Permukiman warga di Sumba dan Sabu umumnya berada di dataran tinggi
dengan jarak tempuh ke lembah yang ada sumber airnya 1 km hingga 3 km.
"Setiap pagi, kaum perempuan menghabiskan 2-3 jam untuk mengambil
air 20 liter. Air untuk memasak, mencuci alat dapur, dan memberi minum
ternak. Anak-anak ke sekolah tak mandi. Warga kampung pun buang hajat di
sembarang tempat. Ini membuat sanitasi jadi buruk," katanya.
Graff mencari solusi tanpa mengotori lingkungan dengan mesin diesel
berbahan bakar minyak. Energi matahari diupayakannya untuk menaikkan
air dari lembah ke perkampungan. Ia menemui seorang ahli tenaga matahari
di Denpasar.
Mereka mengevaluasi masalah air sumur dan permukiman warga Sumba,
lalu terbentuklah Pilot Project Waru Wora (PPWW) berupa sinar sel.
Graff kekurangan modal. Namun, ia berhasil mendapat bantuan Rp 330
juta dari Rotary Club Belanda. Dana itu belum cukup untuk mewujudkan
proyek tersebut.Masih dibutuhkan dana sekitar Rp 500 juta.
Salah satu upaya yang dilakukannya adalah mengadakan pameran foto tentang Sumba dan Sabu Raijua di Jakarta dan Denpasar.
"Sayang, foto-fotonya tak laku. Orang hanya kagum , tetapi tak membeli.
Namun, saya bertemu orang dari Shimizu yang bersedia emmbantu pompa,
pipa, tanki air, dan bahan lain. Ada pula teman yang membantu Rp 50
juta, tetapi kesulitan belum teratasi," kata Graff yang juga mendapat
bantuan dari Bupati Sumba Barat sebesar Rp 65 juta.
Menurut dia, komponen termahal proyek ini adalah solar sel
berukuran 6meter x 6meter untuk menampung energi matahari guna menaikkan
air dengan ketinggian 1.300 meter ke permukiman warga yang berjarak 110
meter.
Apabila proyek ini terwujud, 11 kampung di Desa Patijala Bawa atau
sekitar 1.600 jiwa bisa menikmati air bersih. Sampai kini baru 600 jiwa
atau tujuh kampung yang terlayani.
"Saya bukan orang LSM (lembaga swadaya masyarakat) yang (sebagian) asal kerja. Saya punya pilot project.
Orang bisa belajar di sini karena proyek dengan sinar matahari guna
'menarik' air ini merupakan (salah satu) terbesar di Indonesia. Ke
depan, wilayah ini bisa menjadi pusat wisata," katanya.
Jika proyek itu terwujud, Graff sudah punya program lain, yakni
melakukan filtrasi (penjernihan) air, program pengadaan rumah mandi
untuk kelompok masyarakat di setiap kampung, dan program pertanian
pekarangan rumah atau lahan terbatas.
Dikutip dari KOMPAS, JUMAT, 23 SEPTEMBER 2011
Komentar
Posting Komentar